🪩 Ibrahim Bin Adham Adalah Tokoh Tasawuf Yang Berasal Dari
A Latar Belakang Masalah Kaum sufi telah merumuskan teori-teori tentang jalan menuju Allah. Yakni menuju kesuatu tahap ma'rifah (mengenal Allah dengan hati). Jalan ini diawali dengan riyadhah ruhaniyah yang secara bertahap menempuh berbagai fase yang dikenal dengan maqam (jamak dari maqamat) dan hal (jamak dari hal) yang berakhir dengan ma'rifah kepada Allah. OLEH HASANUL RIZQA Syekh Ibrahim bin Adham 718-782 merupakan seorang sufi yang berpengaruh besar dalam sejarah Islam. Tokoh yang berdarah Arab itu lahir di Khurasan, tepatnya Kota Balkh—kini bagian dari Afghanistan. Keluarganya menetap di wilayah tersebut setelah bermigrasi dari Kufah, Irak. Ibrahim bin Adham kerap dikisahkan sebagai seorang raja atau pangeran yang memilih zuhud. Walaupun nyaris tidak ada catatan sejarah yang pasti tentang hal itu, dapatlah dikatakan bahwa sosok tersebut memiliki kehidupan yang mapan di Balkh. Setelah bertobat, ia pun menjadi seorang pengembara untuk menjauhi hiruk-pikuk duniawi. N Hanif dalam bukunya, Biographical Encyclopaedia of Sufis of South Asia 1999, mengatakan, ada beragam riwayat tentang pertobatan sang mursyid. Salah satunya, sebagaimana dituturkan Fariduddin Attar dalam Tadzkiratul Auliya, menampilkan perjumpaan antara Ibrahim dan Nabi Khidir. Dalam narasi tersebut, sosok berjulukan Abu Ishaq itu diceritakan sebagai seorang raja Khurasan. Narasi lainnya dinukil dari Abu Bakr al-Kalabadhi dalam Kitab at-Ta’aruf. Pada suatu hari, Ibrahim mengajak prajuritnya untuk berburu di hutan. Aktivitas ini dilakukannya untuk senang-senang belaka, melepas penat dari rutinitas di istana. Tanpa disadarlnya, kuda tunggangan yang ia pacu sejak tadi telah jauh meninggalkan prajuritnya, ia terpisah dari mereka, jauh ke dalam hutan, menerobos rimbunnya pepohonan tembus ke satu padang rumput yang luas. Tanpa disadarinya, ia telah terpisah dari para pengawalnya. Seandainya kuda yang ditungganginya tidak jatuh tergelincir, barangkali Ibrahim akan tersasar lebih jauh lagi. Saat sedang berusaha bangkit, ia terkejut karena melihat seekor rusa tiba-tiba melintas di depannya. Ia pun dengan lekas menghela kudanya sembari mengarahkan tombak ke hewan tersebut. Sebelum melempar benda runcing itu, ia mendengar suara yang tertuju padanya, “Wahai Ibrahim! Bukan untuk itu kamu diciptakan. Bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!” Awalnya, penguasa Balkh itu enggan mengacuhkannya. Pikirnya, mungkin suara itu hanya halusinasi. Begitu hendak meraih tombaknya, tiba-tiba suara yang sama terdengar lagi. “Wahai Ibrahim, bukan untuk itu kamu diciptakan dan bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!” Ia pun menengok ke kiri dan kanan, tetapi tak seorang pun dilihatnya. “Aku berlindung kepada Allah dari godaan Iblis,” ucapnya. Ia pun memacu lagi kudanya. Akan tetapi, teguran yang sama lagi-lagi terdengar. Ibrahim pun menghentikan langkahnya, “Apakah ini sebuah peringatan dari-Mu, Tuhan?” katanya bergumam. Putra bangsawan ini pun merasa, petunjuk Ilahi telah menerangi hatinya. “Demi Allah, seandainya Dia tidak memberikan perlindungan kepadaku saat ini, pada hari-hari yang akan datang aku akan selalu berbuat durhaka kepada-Nya.” Sejak saat itu, lelaki dari Bani Bakar bin Wafil ini menekuni jalan salik. Segala kemewahan hidup ditinggalkannya. Oase hikmah Bagi para ahli tasawuf abad pertengahan hingga kontemporer, Syekh Ibrahim bin Adham bagaikan mata air. Dia termasuk yang paling awal mengamalkan dan mengajarkan laku sufi di tengah masyarakat. Di samping itu, konsistensinya dalam zuhud menjadi ciri khas tasawuf yang datang sesudahnya. Ada banyak kisah keteladanan ulama tersebut. Misalnya, yang disampaikan Muhammad bin Abu Bakar al-Ushfuri dalam kitabnya, Mawaizh Ushfuriyah. Suatu ketika, Syekh Ibrahim sedang duduk di sebuah tempat. Di sana, dia membuka bekal makanannya. Tanpa diduga, seekor burung gagak datang mengambil sedikit dari makanan tersebut. Lantas, hewan ini terbang menuju bukit. Karena penasaran, Ibrahim pun membuntuti burung tersebut. Dia segera membungkus makanannya, lalu menunggangi dan memacu kudanya. Dengan cepat, disusulnya hewan bersayap tadi. Akan tetapi, burung itu lebih cepat. Ibrahim pun tak lagi mengetahui ke mana hewan terbang itu mengarah. Karena jejak terakhir yang diingatnya ke arah bukit, ia memacu kudanya ke sana. Sampai di dataran tinggi itu, Ibrahim menemukan seseorang dalam kondisi terikat. Burung gagak itu ternyata ada di dekat orang tersebut. Paruhnya yang membawa makanan kemudian bergerak mendekati mulut orang malang ini. Sang burung lalu melepas makanannya. Mulut orang itu terbuka dan menelannya. Hal seperti itu terjadi dalam beberapa hari sejak pria tak dikenal itu terjerat. Pada hari keempat, Ibrahim mendekatinya, lalu membebaskannya. Lelaki itu bercerita, dirinya dalam kondisi demikian sejak disandera dan dibuang kawanan perampok. Dengan kuasa Allah, ia masih hidup dan tetap mendapatkan rezeki untuk makan melalui perantaraan burung gagak. Kisah di atas mengajarkan tentang Kemahakuasaan Allah dalam mengatur rezeki. Penghidupan setiap mahluk di jagat raya ini masing-masing telah dijamin oleh-Nya. Sungguh mustahil Sang Pencipta membiarkan makhluknya hidup tanpa rezeki. Sungguh mustahil Sang Pencipta membiarkan makhluknya hidup tanpa rezeki. Jangankan yang bebas bergerak, makhluk terikat yang geraknya terbatas, seperti yang ditemui Ibrahim bin Adham pun masih mendapatkan rezeki, tetap hidup dan mengagungkan asma Allah. Menyadari bahwa Allah telah mencukupkan rezeki tiap makhluk-Nya, itu tidak berarti seseorang dibenarkan berpangku tangan. Ibrahim bin Adham memberikan contoh tentang pentingnya ikhtiar. Walaupun hidup sederhana, dirinya tidak pernah mengemis atau meminta-minta kepada orang lain. Salik-pengembara ini tetap bekerja di daerah-daerah manapun yang disinggahinya. Di antara profesi yang pernah dijalaninya ialah buruh tani, tukang kebun, dan penjual kayu bakar. Dalam melakukan pekerjaan, Ibrahim selalu amanah. Tidak sekalipun dirinya berbuat curang. Sebab, kunci keberkahan rezeki ialah bekerja secara halal dan baik. Amanah dan warak Dalam Tadzkiratul Auliya, terdapat selayang pandang cerita yang tentang sifat amanah sang salik. Ibrahim bin Adham berkata, “Aku pernah menjadi seorang penjaga kebun. Pada suatu hari, sang pemilik kebun datang. Ia memintaku untuk mencarikan buah-buah delima yang masak. Aku pun mengambilkan untuknya sejumlah buah delima. Ternyata, buah-buahan itu rasanya masam. Maka, aku mencari lagi buah delima lainnya yang kupikir masak. Sekeranjang buah-buah ini kuberikan kepadanya. Rasanya masam juga. Majikanku berkata, Bagaimana kau ini? Sudah lama menjadi penjaga kebun, tetapi masih tak bisa juga membedakan antara delima yang masak dan masam?’ Kukatakan kepadanya, Aku ini penjaga kebun. Tugasku bukanlah memakan buah delima, apalagi mencicipi mana yang masam dan yang masak.’ Ia kemudian berkata, Dengan sikap amanah ini, engkau pasti Ibrahim bin Adham.’ Setelah itu, aku pergi meninggalkan kebun tersebut.” Aku ini penjaga kebun. Tugasku bukanlah memakan buah delima, apalagi mencicipi mana yang masam dan yang masak Kisah lainnya menggambarkan kecermatan Syekh Ibrahim dalam hidup. Ia selalu mengutamakan warak, yakni menjauhi perkara-perkara yang syubhat, apalagi yang haram. Apabila barang yang dimiliki atau dikonsumsinya belum jelas betul status kehalalannya, pantang baginya untuk menikmati barang tersebut. Pada akhir musim haji, sufi tersebut baru saja usai menunaikan rukun Islam kelima. Ia berniat melanjutkan rihlahnya ke Baitul Makdis. Ingin sekali berziarah dan beribadah di Masjid al-Aqsha. Sebelum bertolak ke Palestina, Ibrahim menyambangi sebuah pasar di pinggiran Makkah. Untuk bekal perjalanan, dirinya pun membeli sekeranjang kurma dari seorang pedagang tua di sana. Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat ada sebutir kurma yang tergeletak di bawah wadah timbangan. Disangkanya, sebutir kurma kecil itu adalah bagian dari buah-buahan yang dibelinya. Usai membayar, ia pun langsung berangkat menuju al-Aqsha. Sesudah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya lelaki ini tiba di tujuan. Seperti biasa, dirinya memilih tempat ibadah di bawah atap Kubah Batu. Saat sedang berzikir, tiba-tiba ia mendengar suara percakapan dua malaikat dari arah atas. “Lihatlah, ini Ibrahim bin Adham, seorang ahli ibadah yang doa-doanya selalu dikabulkan Allah,” kata malaikat pertama. “Namun, kini tidak lagi. Doanya tertolak karena beberapa bulan lalu ia memakan sebutir kurma yang ditemukannya di dekat wadah timbangan seorang pedagang tua di Makkah,” timpal malaikat kedua. “Astaghfirullah al-azhim!” seru Ibrahim. Ia sangat terkejut, dan menyadari kesalahannya itu. Seketika, sufi ini bangkit dan bergegas pergi ke Makkah. Akhirnya, sampailah ia ke pasar yang dahulu dikunjunginya. Sayang, pedagang tua itu sudah meninggal dunia. Kini, yang menjaga toko buah tersebut adalah putranya. Setelah menjelaskan secara detail pokok persoalan, anak itu mengaku tidak mempermasalahkan buah yang telah dimakan Ibrahim. “Namun,” kata pemuda itu lagi, “Sesungguhnya, ayahku memiliki banyak anak. Jumlahnya 11 orang. Tidak hanya aku, tetapi ada juga saudara-saudaraku. Aku tidak berani mengatasnamakan mereka yang mempunyai hak waris yang sama denganku terkait dengan urusan Tuan ini.” Setelah meminta alamat mereka masing-masing, Ibrahim langsung pergi menemui para anak almarhum itu satu per satu. Walau jarak rumahnya berjauhan, selesai juga permohonan maaf Ibrahim. Mereka semua setuju untuk menghalalkan sebutir kurma milik ayah mereka dahulu yang termakan sang mursyid. Masyhur Hingga ke Nusantara Ada banyak kitab yang memuat kisah-kisah tentang Syekh Ibrahim bin Adham 718-782. Menurut N Hanif Biographical Encyclopaedia of Sufis of South Asia 1999, kebanyakan narasi itu tidak hanya tersebar di kawasan Arab atau Persia. Lebih lanjut, kaum Muslimin di India dan Indonesia pun menerima teks-teks tersebut. Hanif mengatakan, beberapa daerah kultural di Nusantara menjadi tempat persebaran cerita mengenai sang mursyid. Di antaranya ialah Sunda, Jawa, dan Bugis. Bagaimanapun, sambungnya, masyarakat masing-masing lokasi itu diduga mendapatkan narasi tentang Syekh Ibrahim dari orang-orang Persia, bukan Arab. Dan, kandungan kisahnya pun lebih banyak dibumbui hal-hal yang berbau rekaan. Salah satu manuskrip yang mengisahkan tentang tokoh ini ialah Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham. Laman Perpustakaan Nasional RI mengungkapkan, kandungan naskah tersebut menceritakan sosok Sultan Ibrahim bin Adham, yakni “seorang raja Irak yang rela melepaskan takhta kerajaan karena ingin menjalankan ibadah kepada Tuhan secara khusyuk.” Teks hikayat ini dibuka dengan perkataan sebagai berikut. “Ini suatu hikayat ada seorang raja dari negeri Irak bernama Sultan Ibrahim bin Adham, wali Allah. Adapun terlalu besar kerajaannya baginda itu. Sahdan baginda itu sangat pertapa lagi masyhur serta dengan adil pemerintahnya lagi amat mengasih pada segala wazirnya dan hulubalangnya, dan kepada rakyatnya hina dena dan terlalu amat mengasih kepada segala ulama dan fakir dan miskin.” Secara keseluruhan, hikayat yang bertuliskan Arab-Melayu tersebut memuat moral dalam dua aspek sekaligus, yakni hubungan vertikal antara hamba dan Allah serta relasi horizontal antarsesama manusia. Aspek pertama meliputi persoalan-persoalan takwa dan mendahulukan perintah Allah, zuhud, ridha, serta pertobatan. Termasuk di dalamnya, kisah tentang perjuangan sang syekh untuk menghalalkan kurma yang terlanjur dimakannya. Adapun aspek kedua bertalian dengan sikap amanah dan pemimpin yang baik. Menurut Danang Susena dalam Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham Suntingan Teks dan Kajian Semiotika 2015, kehidupan spiritual Syekh Ibrahim interteks dengan keyakinan yang disebarkan oleh Syekh Hasan al-Bashri 642-728. Kedua tokoh itu sama-sama generasi tabiin. Belakangan, prinsip mereka diikuti pula antara lain oleh Imam Ghazali 1058-1111. Dan, sampai kini keyakinan itu masih hidup.Tokohtokoh Sufi abad pertama dan kedua hijriah. yang Pertama, adalah Hasan al-basri Nama lengkapnya al-Hasan bin Abi al-Hasan Abu Sa'id. Dia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 Hijriah/642 Masehi dan meninggal di Basrah pada tahun 110 Hijriah/728 Masehi. Ia adalah putra Zaid menjadi sekretaris Nabi Muhammad SAW. Ia memperoleh pendidikan di Basrah.
- Sejarah tasawuf dapat ditelusuri dari awal perkembangan Islam pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, sebagian muslim memutuskan untuk hidup sederhana dan mengabdikan diri sepenuhnya pada Tuhan. Mereka mencari cara untuk mencapai pemahaman spiritual yang lebih dalam untuk mendekatkan diri kepada mengajarkan tentang pentingnya kesederhanaan, kejujuran, dan kebajikan. Beberapa di antaranya, seperti Hasan al-Basri dan Rabiah al-Adawiyah, dikenal sebagai tokoh-tokoh spiritual yang menginspirasi ajaran tasawuf. Pada abad ke-8, para sufi mulai muncul dan mengembangkan ajaran tasawuf secara lebih terstruktur. Mereka takarub mendekatkan diri kepada Allah dengan mengembangkan praktik-praktik spiritual seperti zikir dan puasa untuk membantu para pengikutnya mencapai kesadaran spiritual yang lebih dalam tentang Tuhan. Salah satu tokoh penting dalam sejarah awal tasawuf adalah Abu al-Hasan al-Syadzili, seorang sufi dari Mesir yang hidup pada abad ke-13. Ia dikenal sebagai pendiri Tarekat Syadziliyah, salah satu dari banyak tarekat kelompok sufi yang berkembang di seluruh dunia Islam. Tasawuf berkembang dengan pesat di Iran sejak abad ke-11, banyak tokoh sufi terkenal berasal dari negeri ini, seperti Jalaluddin Rumi dan Hafidz Asy-Syirazi. Tasawuf juga memiliki pengikut yang kuat di Mesir dengan lahirnya beberapa tokoh sufi terkenal seperti Imam Al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Selain itu, tasawuf juga menyebar ke banyak negara seperti Pakistan, India, Turki, Indonesia, Malaysia, dan sejumlah negara di Afrika. Di Indonesia, beberapa tokoh tasawuf di antaranya adalah Syekh Syamsuddin As-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, dan Syekh Abdurrauf As-Singkili. Meskipun tasawuf mengalami tantangan dan kontroversi selama sejarahnya, ajaran-ajarannya tetap menjadi bagian integral dari tradisi dan khazanah keilmuan yang terus memengaruhi banyak umat Islam hingga saat Tasawuf Penyebaran tasawuf mula-mula dilakukan para sufi dengan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil di masjid dan di tempat-tempat lain untuk berzikir dan melakukan praktik-praktik spiritual lainnya. Seiring waktu, ajaran ini kian meluas melalui perjalanan para sufi yang bepergian ke luar negeri untuk menyebarluaskan ajaran Islam, atau para pedagang dan musafir yang membawa ajaran tasawuf ke berbagai tempat yang mereka kunjungi. Penyebaran tasawuf terutama terjadi pada abad ke-9 hingga abad ke-12 Masehi, ketika banyak kelompok sufi berkembang dan menyebar di seluruh dunia awalnya, misi penyebaran tasawuf dilakukan secara langsung melalui pertemuan-pertemuan dengan para murid dan penguasa di berbagai daerah. Para sufi datang ke suatu tempat untuk memberikan ceramah, membimbing umat Islam, dan memperkenalkan ajaran tasawuf kepada masyarakat abad ke-11, para sufi mulai membentuk kelompok-kelompok keagamaan yang lebih terstruktur, yang dikenal sebagai tariqah atau tarekat. Kelompok-kelompok ini memiliki aturan dan praktik-praktik yang khusus, dan dipimpin oleh seorang guru atau syekh yang dianggap memiliki pengalaman spiritual dan pengetahuan yang mendalam tentang ajaran tasawuf. Selain itu, penyebaran tasawuf juga terjadi melalui literatur. Banyak karya sastra dan puisi tasawuf yang ditulis oleh para sufi yang berisi ajaran-ajaran tentang kesempurnaan spiritual dan hubungan manusia dengan Tuhan. Karya-karya ini menjadi sumber pengajaran bagi banyak orang dalam mengembangkan pemahaman mereka tentang ajaran tasawuf. Diminati sebagai Gerakan Alternatif Seturut Azyumadi Azra dkk dalam Ensklopedi Tasawuf Jilid I A-H 2008, Islam memiliki dua dimensi, yakni dimensi lahir atau eksoterik yang mencakup syariat, seperti salat, puasa, zakat, dan berhaji. Satu lagi dimensi batin atau esoterik yang mencakup tasawuf. Kedua dimensi ini saling membutuhkan dan saling melengkapi. Tasawuf dianggap sebagai gerakan alternatif karena ajaran-ajarannya menekankan pada pengalaman spiritual individu terkait pengalaman langsung hubungan seseorang dengan itu, tasawuf juga mengajarkan pada kesederhanaan serta keterlibatan dalam bermasyarakat. Para sufi mengajarkan nilai-nilai seperti kebaikan, kasih sayang, dan toleransi, yang merupakan prinsip-prinsip yang sangat penting dalam agama Islam. Tasawuf juga menolak materialisme dan lebih fokus pada nilai-nilai spiritual yang lebih tinggi. Namun, seiring waktu, tasawuf juga mengalami perkembangan dan masuk ke dalam struktur keagamaan formal. Di beberapa negara, tasawuf terintegrasi dengan politik dan kekuasaan, yang menyebabkan pengaruhnya menjadi berbeda-beda di berbagai wilayah. Misalnya di Iran, sebagaimana ditulis Seyyed Hossein Nasr dalam Living Sufism 1970, persinggungan syiah dengan tasawuf secara simbolis berakhir setelah masa kepemimpinan Imam Ridha, imam syiah kedelapan. Kemudian ada juga pemikiran yang dilontarkan Muhammad Iqbal 1877-1938, filsuf dan penyair terkenal dari Pakistan. Ia memiliki pandangan yang khas mengenai tasawuf dan peran politik umat Islam. Iqbal percaya bahwa tasawuf adalah gerakan spiritual yang penting dalam Islam, karena tasawuf fokus pada peningkatan kualitas kehidupan spiritual individu dan masyarakat. Iqbal juga menganggap tasawuf sebagai salah satu cara untuk memperbaiki keadaan umat Islam yang seringkali terbelakang dan tertindas. Bagi Iqbal, tasawuf dan politik menjadi dua hal yang tak dapat dipisahkan. Tasawuf memberikan pemahaman tentang esensi agama Islam, sementara politik berperan dalam menjaga kekuatan dan keberlangsungan masyarakat Islam. Dalam konsep teo-demokrasi yang digagasnya, Iqbal menggabungkan unsur-unsur politik dan tasawuf. Ia percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik yang paling cocok untuk menjaga nilai-nilai Islam, karena memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Namun demokrasi menurut Iqbal tidak dapat dilaksanakan secara sepihak tanpa mengacu pada nilai-nilai Islam yang mendasar. Oleh karena itu, dalam teo-demokrasi, kekuasaan politik dijalankan oleh para pemimpin yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang ajaran Islam. Tokoh-Tokoh Tasawuf Awal yang Paling Berpengaruh Tokoh-tokoh awal tasawuf memiliki peran penting dalam pengembangan tasawuf sebagai tradisi keilmuan Islam. Mereka membentuk karakteristik khas dari praktik-praktik dan pandangan-pandangan tasawuf yang dikenal sampai saat ini. Hasan Al-Basri 642-728 M, salah satu tokoh awal tasawuf dan dianggap sebagai tokoh sufi pertama. Dikutip dari laman NU Online, dia berguru kepada sahabat nabi, seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Mughaffal, Amr bin Taghlib, Abu Burzah al-Aslami, dan masih banyak lagi. Pemikiran Hasan al-Bashri dalam bidang tasawuf sangat berpengaruh, khususnya dalam hal tawakal, zuhud, dan iktikad. Ia mengajarkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dalam segala hal, tidak tergantung kepada dunia atau materi, serta selalu memperbaiki niat dalam segala al-Bashri juga menekankan pentingnya zuhud dan menjaga hati dari cinta kepada dunia, serta menyarankan untuk selalu memperbaiki hubungan dengan Allah dan merenungkan makna-makna kehidupan. Infografik Mozaik Perkembangan Awal Tasawuf. mata para sufi, Hasan Al-Bashri dikenal sebagai salah satu tokoh yang paling menonjol dalam memadukan antara ilmu dan amal, yaitu mengetahui dan mengamalkan agama dengan sebaik-baiknya. Ia mengajarkan bahwa ilmu tanpa amal tidak berarti dan amal tanpa ilmu adalah buta, sehingga penting untuk selalu menggabungkan keseharian, dia juga terkenal dengan sikap rendah hati dan penuh kasih sayang kepada sesama. Ia sering kali memberikan nasihat yang santun dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Kesederhanaan dan keterbukaan hatinya membuat banyak orang terpikat dan merasa nyaman ketika berbicara dengannya. Tokoh lain yang memiliki pengaruh dalam perkembangan awal tasawuf ialah Junaid al-Baghdadi 830-910 M, salah satu tokoh sufi yang membentuk banyak konsep dan praktik tasawuf modern. Ia menekankan pada pentingnya pengetahuan dan kesederhanaan dalam praktik sufi, serta menolak praktik-praktik ekstrem yang bertentangan dengan ajaran Islam. Selanjutnya ada tokoh sufi fenomenal, yakni Abu Hamid al-Ghazali 1058-1111 M yang menulis banyak karya penting dalam tradisi tasawuf, termasuk karya monumentalnya Ihya Ulumuddin. Karya ini menjadi referensi utama dalam banyak tarekat dan ilmu tasawuf yang diajarkan di sekolah maupun pesantren-pesantren. Tak lengkap juga jika kita membicarakan tasawuf tanpa menyebut Jalaluddin Rumi 1207-1273 M, tokoh sufi sekaligus penyair terbesar dalam sejarah Persia. Dia memimpin sebuah tarekat sufi yang dikenal sebagai Tarekat Maulawi. Beberapa karyanya, terutama Mathnawi, sangat dihormati dan dihargai oleh banyak orang sebagai salah satu warisan sastra terbesar dalam sejarah. - Sosial Budaya Kontributor Ali ZaenalPenulis Ali ZaenalEditor Irfan Teguh Pribadi 6 Ilmu pengetahuan bidang bahasa arab, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahu, saraf, dan lain-lain. 7. Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran. Sejarah. – Ibrahim bin Adham adalah seorang tokoh sufi ternama, tergolong dalam kelompok tabi’in, meninggal dinegeri Syam pada tahun 161 H/778 M rahimahullah. dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi. DONASI SEKARANG Beliau adalah seorang waliyullah, berasal dari keluarga kerajaan wilayah khurasan. Berkelana ke pedalaman arab kemudian ke Mekkah al-Mukarramah, disana ia bertemu dengan Sufyan Tsauri dan Fudhail bin Iyadh kemudian bersahabat dengan mereka. Ibrahim bin Adham mengais rezeki dengan bekerja sebagai pengetam atau penuai, berkebun dan lainnya. Abu hanifah, tokoh ulama mujtahid terkenal adalah juga merupakan salah seorang sahabat Ibrahim bin Adham. Karomah Ibrahim bin Adham Berkata Imam Yafi’i rahimahullah Imam al-Qusyairi meriwayatkan dengan sanadnya, beliau bercerita pernah suatu ketika kami bersama sama dengan Ibrahim bin Adham berada di tepi laut. Kemudian kami berhenti di semak belukar yang banyak kayu-kayu kering, lalu kami berkata kepada Ibrahim “bagaimana bila malam ini kita berdiam di sini dan membakar beberapa kayu untuk perapian ?” Ibrahim bin Adham pun menjawab “boleh, lakukanlah!” Maka kami pun menetap di situ dan membakar beberapa kayu. Saat itu kami hanya membawa bekal beberapa potong roti. Disaat kami sedang menyantap roti, salah seorang dari kami berkata “alangkah bagusnya bara api ini bila ada daging yang bisa kita bakar dengannya untuk kita makan“, kemudian Ibrahim bin Adham berkata “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Kuasa atas memberi daging tersebut kepada kalian”. Sesaat setelahnya, tiba-tiba datanglah seekor singa membawa rusa jantan dimulutnya, singa tersebut lalu mendekati kami dan meletakkan rusa yang sudah lunglai lehernya itu dihadapan kami. Kemudian Ibrahim bin Adham berdiri dan berkata “sembelihlah rusa itu!, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberi kalian makanan” Maka kami pun langsung menyembelihnya dan memanggang dagingnya, sedangkan si singa masih tetap diam disitu sembari melihat kearah kami. Muhammad bin Mubarak as-Shuwari berkata suatu hari aku sedang berada di jalan baitul maqdis bersama dengan Ibrahim bin Adham, ketika sampai di sebatang pohon delima kami memutuskan beristirahat di bawahnya, lantas kami menunaikan shalat sunnat dhuha disana. Kemudian sesaat setelah selesai shalat, aku mendengar suara yang keluar dari pohon tersebut, ia berkata “sungguh adalah suatu kemuliaan bagi kami jika saudara mencicipi apa yang ada pada kami”. Lalu Ibrahim bin Adham pun berkata kepadaku “wahai Muhammad, marilah kita penuhi permintaannya !”, kemudian Ibrahim mengambil dua buah delima dari pohon itu dan memberikan kepadaku salah satunya seraya berkata “wahai Muhammad, makanlah!”. Muhammad bin Mubarak melanjutkan ceritanya “beberapa hari kemudian aku kembali melewati pohon tersebut, alangkah terkejutnya aku ketika kulihat pohon itu tumbuh besar dan subur dengan begitu banyak buah yang dihasilkannya. Penduduk di daerah tersebut menamakan pohon itu dengan Syajaratul-abidin yang berarti pohon orang-orang ahli ibadah” Beberapa Kalam Hikmahnya Pokok segala ibadah adalah tafakkur dan diam, terkecuali diam dari berzikir kepada shaleh yang paling berat timbangannya kelak di yaumil mizan adalah amalan yang paling berat dirasa oleh yang paling dahsyat adalah jihad melawan hawa nafsu, barangsiapa yang mampu menahan hawa nafsunya maka ia sungguh telah beristirahat daripada dunia beserta balanya, dan adalah ia dilindungi lagi sejahtera daripada penyakit melakukan kebaikan yang hanya sesuai dengan kesukaannya, dan menjauh dari keburukan yang hanya ia benci saja, maka amal kebaikan tersebut tidak berpahala baginya dan tidak terselamatkan ia dari dosa keburukan yang ia tinggalkan ada tiga macam zuhud fardhu, zuhud salamah dan zuhud fadhal. Maka zuhud fardhu itu yakni zuhud pada yang haram, zuhud salamah adalah zuhud pada yang syubhat/samar-samar, dan zuhud fadhal adalah zuhud pada yang ada yang lebih dahsyat lagi berat terhadap iblis melainkan orang alim lagi halim/sabar, yang jika bicara, ia berbicara dengan ilmu dan jika diam maka ia diam dengan sabar. Hingga berkata iblis mengenainya “sungguh diamnya itu lebih membuat aku tertekan ketimbang bicaranya”.Menyedikitkankan rakus dan loba dapat mewarisi kejujuran dan kewara’an, sedangkan memperbanyak keduanya dapat mewarisi dukacita dan hati kalian dengan rasa takut terhadap Allah, sibukkan badan kalian dengan ketekunan pada menta’ati-Nya, wajah kalian dengan rasa malu kepada-Nya dan sibukkan lidah kalian dengan berzikir kepada-Nya. Dan tundukkanlah pandangan kalian daripada melihat segala yang diharamkan engkau dapat mengekalkan pandanganmu kepada cermin taubat, niscaya akan nyata bagimu aib kejelekan maksiat. Demikian sepintas lalu kisah mengenai Al-Arifbillah Syeikh Ibrahim bin Adham, karomah yang dimilikinya dan beberapa kalam hikmah yang muncul dari lisannya. Semoga dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi kita ummat manusia. Wallahua’lambisshawab ! Author Recent Posts Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda AcehNamalengkapnya Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Khazzaz al-Qawariri, berasal dari Nahawand, tetapi lahir dan besar di Irak. Ia seorang ahli fiqih dan penganut madzhab "Abi Tsaur", salah seorang murid Imam Syafi'i. Pada saat berumur dua puluh tahun ia sudah dipercaya memberikan fatwa. Ia juga seorang ahli kalam yang masyhur.
Makam Syeikh Ibrahim bin Adham - Ibrahim ibn Adham lahir di Balkh dengan nama Abu Ishak Ibrahim bin Adham pada tahun 168 Hijriah atau 782 Masehi. Ibrahim bin Adham merupakan seorang raja di Balkh yakni sebuah daerah tempat awal perkembangan ajaran Budha. Kisah Ibrahim bin Adham adalah satu kisah yang cukup menonjol di masa awal kesufian. Ibrahim bin Adham terlahir dari keluarga bangsawan Arab yang dalam sejarah sufi ia sangat dikenal karena meninggalkan kerajaannya dan memilih menjalani latihan pengendalian tubuh dan jiwa sama seperti yang dilakukan oleh Budha Sidharta. Dalam tradisi kesufian banyak menceritakan tentang tindakan keberanian, rendah hati, serta gaya hidupnya yang cukup bertolak belakang dengan kihidupannya semasa menjadi Raja Balkh. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu'yam, Ibrahim bin Adham menekankan akan pentingnya ketenangan dan meditasi dalam melakukan pelatihan pengendalian tubuh dan jiwa. Rumi dalam Mansawi yang ditulisnya mejelaskan secara detail bagaimana kehidupan dari Ibrahim bin Adham. Salah satu murid Ibrahim bin Adham yang terkenal adalah Shaqiq al-Balki. Kehidupan Ibrahim bin Adham Dalam tradisi muslim, keluarga Ibrahim bin Adham berasal dari Kufah, namun ia dilahirkan di Balkh bagian wilayah Afganistan sekarang. Beberapa penulis mencoba menelusuri silsilah Ibrahim bin Adham hingga ke Abdullah, saudara Ja'far al-Sadiq anak dari Muhammad al-Baqir, cucu Husain bin Ali, salah satu silsilah keluarga paling penting dalam sejarah Sufi, namun sebagian besar penulis percaya bahwa silsilahnya berasal dari Umar bin Khattab. Sejarah kehidupan Ibrahim bin Adham dicatat oleh penulis besar abad pertengahan yakni Ibnu Asakir dan Bukhari. Ibrahim bin Adham terlahir dalam lingkungan masyarakat Arab yang tinggal di Balkh. Ia tercatat sebagai raja daerah tersebut pada sekitar tahun 730 Masehi, namun ia meninggalkan tahtanya dan memilih menjalani kehidupannya sebagai seorang petapa. Hal ini dilakukan oleh Ibrahim bin Adham setelah mendapat teguran dari Tuhan melalui penampakan Khidir sebanyak dua kali. Setelah mendapat teguran tersebut, Ibrahim bin Adham lalu memutuskan turun dari thatanya dan memilih menjalani kehidupannya sebagai pertapa di Suriah. Cerita ini berbeda dengan versi Kitab Ushfuriyah Semenjak melepaskan jabatannya sebagai raja, Ibrahim pun berangkat ke Naishapur dan hidup di dalam gua selama sembilan tahun. Selama dalam gua ia pernah bertemu dengan ular yang sangat besar, kemudian Ibrahim berdo'a kepada sang pencipta "Ya Allah, Engkau telah mengirim makhluk ini dalam bentuk yang halus, tetapi sekarang terlihat bentuknya yang sebenarnya yang sangat mengerikan. Aku tak sanggup melihatnya". Kemudian sang ular pun bergerak dan bersujud di depan Ibrahim sebanyak tiga kali. Kisah Aibrahim bin Adham Setelah dari pertapaan tersebut Ibrahim berangkat ke Makkah, dalam perjalanan ia pun melalui banyak kejadian yang luar biasa. Pada saat dia berada di Dzatul Irq, Ibrahim bin Adham bertemu dengan tujuh puluh orang yang berjubah kain perca yang tergeletak dengan darah yang mengalir dari hidung dan telinga mereka. Setelah 14 tahun berkelana pada padang pasir akhirnya beliau sampai ke Makkah dan hidup sebagai tukang kayu. Setelah kepindahannya pada tahun 750 Masehi, Ibrahim bin Adham memutuskan menjalani hidup secara semi-nomaden, terkadang Ibrahim bin Adham berjalan sampai jauh ke Selatan hingga ke wilayah Gaza. Semasa menjalani kehidupannya tersebut, Ibrahim bin Adham sangat menghindari untuk mengemis. Ia memilih bekerja membanting tulang tanpa mengenal lelah untuk mendapatkan uang sebagai sumber pembiayaan hidupnya sehari-hari. Pekerjaan yang biasa dilakukan olehnya antara lain menggiling jagung atau hanya sekedar merawat kebun. Ibrahim bin Adham juga diperkirakan ikut begabung dengan militer di perbatasan wilayah Byzantium dan kebanyakan ahli memperkirakan kematiannya disebabkan oleh salah satu ekpedisi angkatan laut yang diikuti olehnya. Guru spritual pertama Ibrahim bin Adham adalah seorang pendeta Kristen bernama Simeon. Ibrahim bin Adham meriwayatkan dialognya dengan sang pendeta melalui tulisan-tulisannya. Berikut kutipan percakapan mereka "Aku mengunjungi penjaranya, dan bertanya Aku kepadanya, "Bapa Simeon, sudah berapa lama Bapa terkurung di dalam sini?" "Sudah tujuh puluh tahun Aku di sini", jawabnya. "Apa yang menjadi makananmu?" tanyaku lagi. "Ya Hanafi", jawabnya, "apa yang menyebabkanmu menanyakan hal ini?" "Aku hanya ingin tahu" jawabku. Lalu ia berkata, "semalam sebiji kacang." Aku bertanya lagi, "apa yang membuat hatimu berkata bahwa sebiji kacang sudah cukup bagimu?" Ia lalu menjawab, "Kacang-kacang tersebut datang setahun sekali dan menghiasi selku dan aku memakannya sebiji setiap hari, aku menghormati kacang tersebut. Pada saat jiwaku mulai lelah beribadah, Aku selalu mengingatkan diriku pada satu waktu, waktu yang digunakan oleh para pekerja selama setahun untuk dapat bertahan selama sejam saja. Apakah engkau, Ya Hanifa, melakukan pekerjaan terus menerus untuk memperoleh kemuliaan yang kekal?" Sama seperti hanya para sufi yang lain, makam Ibrahim bin Adham juga memiliki sujumlah makam yang ada di berbagai tempat. Menurut Ibnu Asakir, Ibrahim bin Adham dimakamkan di sebuah pulau di Bizantium, sementara sumber lain menyatakan makamnya ada di Tirus, di Baghdad, ada juga yang menyatakan bahwa makamnya ada di kota Nabi Luth. Pendapat lain juga mengatakan makam Ibrahim bin Adham terletak di dalam gua Yeremia di Yerusalem, dan pendapat terakhir menyatakan bahwa makam Ibrahim bin Adham terletak di kota Jablah sekitar pantai Suriah. Ibrahim bin Adham dalam Sejarah dan Karya Sastra Kisah kehidupan Ibrahim bin Adham, sang sufi, yang terkenal di zaman pertengahan bisa saja adalah sebuah cerita yang murni tengtang dirinya. Namun beberapa ahli meyakini bahwa kish hidupnya yang sederhana tersebut telah dibumbui dengan berbagai cerita fiksi sehingga membuat kisahnya menjadi lebih menarik. Kitab memorial para Sufi Persia yang ditulis oleh Attar menjadi salah satu kitab yang paling sering dijadikan rujukan dalam mengisahan perubahan sang Ibrahim bin Adham dari seorang Raja Balkh menjadi seorang petapa yang meninggalkan tahtanya. Cerita Ibrahim bin Adham yang tercatat dalam Memorial Persia tersebut tersebar hingga ke wilayah India dan Indonesia. Namun cerita tersebut semakin ditambai dengan cerita-cerita fiksi lainnya sehingga semakin menarik. [ .